Low-hanging fruit to pick and celebrate
Bambang Seser adalah teman istimewa. Kemampuan mengingatnya jauh di atas kami semua, bahkan di atas yang paling cerdas sekalipun. Dia diberkati dengan “encyclopedic memory.” Bisa hapal detail peristiwa teman-temannya.
WA pribadi ke Romo Dadang Hermawan, Pr. 26 Juni 2022.
[6/26, 6:59 PM] Markus Budiraharjo: Malam Romo Dadang, dapat salam dari Mas Edy Wibawa. Seka Delanggu. Saiki neng Pontianak.
[6/26, 8:08 PM] Romo Dadang: Weeelhadalaaaaah…. Kok bisa ketemu?
[6/26, 8:09 PM] Romo Dadang: Kakak kelase awake dhewe, kan? Ketoke biyen rambute njegrak
[6/26, 8:23 PM] Markus Budiraharjo: Iya. Jarene Bapake Njenengan koncone Bapake
[6/26, 8:26 PM] Romo Dadang: Iya, bener banget
***
Edy Wibawa adalah alumnus Merto. KPP89. Romo Dadang Hermawan, Pr. dari KPP90. Keduanya dari Delanggu. Kedua orang tuanya adalah teman. Pilihan dan perjalanan hidup telah membuat dua orang itu tidak lagi akrab. Sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri.
Bagiku, Edy Wibawa orang yang unik, untuk tidak mengatakan aneh. Ketika dipertemukan di WAG Roh Merto Borneo Raya, tanggapan yang dia berikan pada diriku sungguh menyentak. “Nek kowe nganti lali karo aku, tak ajarrrr tenan!” Bahasa penuh kekerasan. Mengingatkanku pada suatu titik waktu 30 tahun lalu.
Dari temanku, Bambang Seser (KPP90), aku dengar bahwa Edy Wibawa melanglang dari satu daerah ke daerah lain. “Dulu kerja di Jakarta, urusan sama para sebritis. Tapi nggak tahu caranya kok bisnis kuliner di Timor Timur,” katanya. Bambang Seser adalah teman istimewa. Kemampuan mengingatnya jauh di atas kami semua, bahkan di atas yang paling cerdas sekalipun. Dia diberkati dengan “encyclopedic memory.” Bisa hapal detail peristiwa teman-temannya. Bahkan dia ingat kapan aku pakai kacamata pertama kali! Sementara aku sendiri sudah lupa!
“Kisah hidupku penuh lika-liku. Lama sebagai content writer untuk infotainment. Urusin dapur selebritis. Pindah ke Timor Timur untuk coba tantangan baru. Kakakku kebetulan pernah dekat dengan Xanana Gusmao. Waktu Xanana ditahan di penjara Jakarta tahun 2006, kakakku yang kerja di LSM sering kunjungan. Kakakku itu kelak akan berbisnis di Timor Timur. Tahun 2011 – 2013 aku ke sana. Bantu-bantu kerjaan konstruksi. Sambil belajar buka restoran. Tapi ya itu, hanya tahan dua tahun. Hidup di sana penuh tantangan. Kadang ada polisi mabuk. Datang dengan pistol ditodongkan. Makan, tidak bayar. Bisnis kuliner nggak balik modal,” katanya mengisahkan perjalanan di Timor Timur.
“Sesudah itu, enam tahun lamanya aku kembali ke selera lama. Ngurusin dapur selebritis, ngulik kehidupan mereka. Nulis konten untuk infotainment. Tahun 2019, kok nggak betah. Hidup terlalu rutin. Terlalu mudah diprediksi. Jadilah kami kembali ke kampung tahun 2019 demi pertimbangan pendidikan anak-anak (Jogja dan Muntilan). Saat dihadapkan pada berbagai tantangan, pindah ke Pontianak adalah pilihan paling masuk akal pada tahun 2021 tersebut. Packing secukupnya. Perjalanan laut dari Jakarta ke Pontianak,” Edy Wibowo berbicara dengan ringan. Diselingi dengan ledakan ketawa yang renyah.
“Di Pontianak itu lah, lembaran-lembaran baru kami mulai. Kami menumpang di tempat adik. Aku sendiri kadang membantu bikin alat-alat penyangga gigi. Adik punya klinik gigi. Kadang aku jadi pengawas bangunan. Ya sebagai cah ndeso, aku mulai beternak ayam. Bebek. Itik. Enthok. Menyenangkan,” gaya omongnya masih renyah. Kadang aku selingi dengan pertanyaan untuk klarifikasi.
“Nah, ada satu hal lain. Di sini, masyarakat Dayak kan punya lahan. Tapi sebenarnya mereka nggak tahu caranya pakai lahan. Aku bersyukur bisa kenal masyarakat di sini. Juga kenal dengan birokrasi pemerintahan di desa. Akhirnya, terjadilah kesepakatan. Aku akan kasih pelatihan tentang cara beternak ayam. Pemerintah desa berkomitmen untuk mengalokasikan dana desa untuk pemberdayaan warga desa tersebut. Pelatihan yang aku berikan sederhana. Bagaimana cara bikin kandangnya. Bagaimana komposisi makanannya: yang pabrikan, yang alternatif. Bagaimana dan kapan harus menyuntik vaksinasi pada ayam-ayam peliharaan. Bagaimana mengeramkan dengan alat. Boom, berhasil!!! Mereka sampai bisa menetaskan telur-telurnya. Mereka mulai bisa mengelola ayam-ayamnya,” sampai di sini, terasa benar, alasan kenapa Mas Edy Wibawa tetap tertawa renyah di sela-sela bicaranya.
Mas Edy berkisah tentang kemenangan-kemenangan kecil yang dirayakan. Disyukuri. Dinikmati. Kemenganan-kemenangan bukan untuk dirinya sendiri. Tetapi justru untuk kebersamaan: di antara warga pribumi, yang tidak lain dan tidak bukan tidak ada relasi kerabat atau hubungan darah.
“Bukan hanya ternak. Tetapi juga tanaman pangan. Aku kenalkan Coccinia Grandis, timun mini. Praktis, tanam sekali, panen seumur hidup! Bayam Brazil. Pepaya Jepang. Jadi peternakan jalan, tanaman pangan juga jalan. Sayuran untuk kehidupan sehari-hari. Ketahanan pangan di akar rumput terjamin,” lanjutnya.
“Ini lah yang bagiku sungguh luar biasa. Aku tiba di Pontianak, dengan segala keterbatasan. Tetapi, dengan menjadi bermakna bagi sesama, aku tidak hanya bertahan untuk hidup, tetapi juga jauh lebih bermakna karena hidupku juga berguna bagi lebih banyak orang di sini,” Mas Edy Wibawa terdengar sangat filosofis. Kebiasaan merefleksikan hidupnya terbawa. Di mana dia berada, dia akan selalu mencari makna di balik setiap peristiwa.
Mas Edy Wibawa masih bermimpi: bagaimana membantu masyarakat pelan-pelan akan berubah menjadi lebih baik lagi. Dari tradisi “asal masuk hutan, nanti pulang bawa bahan makanan,” sampai melatih kebiasaan baru untuk kultivasi bahan makanan. Itu butuh lompatan yang panjang. Juga harus bersama-sama dengan banyak orang lain. Lintas generasi. Sementara, birokrasi pemerintah juga tidak tahu bagaimana membuat program. Mereka sudah cukup puas untuk membagikan benih, tetapi tidak akan membekali masyarakat bagaimana menanam dan merawatnya. Tidak ada sistem persawahan dengan irigasi yang menjamin aliran air sepanjang tahun. Tanah ada. Sumber daya alam tersedia. Tapi alat-alat sosio-kultural belum tersedia.
Mas Edy Wibawa tidak tahu sampai di mana mimpinya akan bermuara. Tetapi, minimal dia berusaha untuk menjadi pribadi yang relevan. Berguna. Bermanfaat bagi keluarga dan masyarakat serta gereja. Bukankah pendidikan Seminari ditujukan untuk membekali kita untuk menjadi solusi untuk berbagai persoalan di hadapan kita?