Hutang Belum Terbayar: Sepotong Kisah dari Shanghai

“Mas Damar, kalau ada teman-teman angkatanmu yang bisa aku bisa dengarkan cerita-ceritanya, let me know ya?” seperti biasa, aku japri. Damar Sandibroto adalah seorang alumnus Prodi PBI, Universitas Sanata Dharma. Bertahun-tahun lampau, aku pernah berjumpa dirinya.

Sebagai Lurah KPP2000, tentu Damar memiliki akses ke teman-temannya. Dipercaya oleh teman-teman seangkatannya.

Jawaban itu akhirnya datang. Sambil mengenang perjumpaan dengan diriku di masa lalu. Tidak semuanya menyenangkan. Diriku dalam waktu muda terkenal sebagai Mr. Perfectionist!

Belum tergerak

Damar Sandibroto termasuk yang mendapat “sentuhan khusus dariku” waktu itu. “Namun semua pengalaman tentu membawa makna tersendiri bagi saya,” tulisnya. Filosofis. Reflektif. Khas eks-seminaris.

“Angkatanku memang terkesan belum banyak bergerak. Masih wait and see. Masih enggan terlibat di IASM. Tapi kalau mau ngobrol, coba hubungi temanku. Indra Prahasta,” paparnya.

Di menit berikutnya, terkirim contact number. Namanya 103 Toyib.

Nomor itu aku simpan sebagai Indra Prahasta KPP2000. 10 tahun angkatan di bawahku, tentu saja.

Menjelang matahari merangkak naik, aku kirim pesan pendek. “Salam kenal Mas Indra Prahasta. Kalau ada waktu, kita ngobrol ya,” sapaku. Gayung bersambut. “Salam kenal. Jam 7-an saya bisa,” jawabnya singkat.

ghghghg

Indra Prahasta merupakan salah satu dari beberapa seminaris Angkatan 2000 yang memilih mundur ketika kenaikan ke kelas tiga di Merto. “Kami yang sudah memutuskan tidak melanjutkan solisitasi, ramai-ramai mundur di akhir Kelas Dua. Tidak ada tekanan dari siapapun, Itu murni pilihan sadar. Kami pergi tanpa membawa, atau meninggalkan beban,” paparnya, mengisahkan pilihan hidupnya.

Berkarya di Kementerian Perdagangan

Singkat kisah, Indra Prahasta berkarir di Kementerian Perdagangan. Selepas dari lulus Hubungan Internasional UGM, dia masuk ke jajaran ASN. Tiga tahun terakhir, dia berkarya di Shanghai, untuk membuka kantor perwakilan perdagangan.

“Sebenarnya, aku merasa punya hutang, Mas. Seminari telah memberikan bekal luar biasa untukku. Tanpa pengalaman belajar di Seminari, aku tidak akan cukup dibekali dengan keterampilan belajar yang baik. Bisa membawa diri di dalam lingkungan yang baru. Lingkungan ASN yang bisa jadi sangat asing, karena tetap sebagai minoritas,” paparnya, menjelaskan satu harapan yang masih tersimpan dalam-dalam di hatinya.

“Tapi, mau diapakan lagi? Kedua tangan dan kakiku masih sibuk dengan banyak urusan. Mengelola pekerjaan di kantor. Membangun keluarga. Menemani anak-anak tumbuh. Karir dan keluarga adalah dua hal yang membuat diriku tidak bisa berbuat banyak. Padahal aku juga merasa harus berbuat sesuatu untuk Seminari,” dia menyampaikan unek-uneknya. Ringan. Terbuka, seakan-akan sudah nyaman ngomong dengan teman lama yang tidak lama berjumpa. Padahal baru kenal melalui WA di pagi hari. Pesan singkat.

Rasa bersalah

“Mas Indra sebenarnya tidak perlu mempertahankan rasa salah. Siklus kehidupan kan memang seperti itu. Pada paruh pertama usia 20-an, kita gunakan untuk menyelesaikan studi. Paruh kedua di periode itu, kita mulai bangun keluarga. Periode usia 30-an membentuk, menghidupi, dan menjalani hidup berkeluarga. Karir dimulai, seiring dengan tanggung jawab sebagai keluarga. Baru, pada paruh kedua usia 40, kita mulai settled. Itu siklusnya. Nanti, dirimu pasti akan kembali, ketika semunya sudah tertata rapi. Itu yang kami alami, KPP90. Baru bisa mulai akrab 24 tahun sesudah kami lulus,” paparku lebih jauh.

Berbincang dengan adik kelas 10 tahun di bawahku terasa memberikan kesegaran tersendiri. Teringat diriku, 10 tahun lalu. Waktu aku harus terpisah dari keluarga. Di negeri Paman Sam. Untuk studi lanjut. Sementara istriku harus menemani anak tunggal kami sendirian. Di negeri sendiri. Terpisah jauh.

***

Tanpa terasa, kami berdua ngobrol 54 menit. Ngalor ngidul sebagaimana layaknya teman akrab. Tentu karena kami berdua mengalami pengalaman nostalgis yang sama. Di Mertoyudan, sekalipun terpisah 10 tahun. Bisa juga karena kami punya pengalaman yang sama tinggal cukup lama di negeri orang. Kalau ada sesama dari tanah air yang mengontak, rasanya seperti berteduh di oase yang menyejukkan. Namun intinya jelas, paseduluran, persaudaraan, yang muncul dari mata air yang sama, itu lah yang mempersatukan. Seminari sebagai rahim kedua bagi para alumninya, akan meninggalkan jejak-jejak tak terhapuskan dalam setiap tarikan nafas, dalam setiap kerdipan mata, dalam setiap hal yang kita pikirkan. Yang menjadi tantangan tentu ada pada upaya untuk merajut tenun persaudaraan lintas generasi.

Similar Posts